BAB
I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Islam merupakan ajaran Allah Swt
yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia
sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara materi
maupun spiritual, selalu berhubungan dan berinteraksi antara satu dan yang
lain. Dalam berhubungan dengan orang lain inilah antara yang satu dan yang lain
sering terjadi interaksi. Sebelum mengemukakan konsep akad, terlebih dahulu
akan dikemukakan akad secara etimologis atau arti dari segi bahasa. Kata akad
berasal dari bahaasa Arab, yaitu ar-rabtu yang berarti menghubungkan
atau mengingatkan, atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu.
1.2
Perumusan
Masalah
2.1
Pengertian akad
2.2
Perbedaan akad,
tasharrruf dan iltizam
2.3
Pembentukan
akad
2.4
Macam-macam
akad
2.5
Hikmah akad
1.3
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini agar
Mahasiswa/I lebih mengetahui tentang Akad dalam Pandangan Islam dan Terwujudnya
ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih dalam bertransaksi atau memiliki
sesuatu.
1.4
Manfaat
Penulisan
Dalam penulisan
makalah ini Penulis berharap dalam materi yang dibahas Mahasiswa/I mampu
memehami :
a. Mampu menerapkan dalam kehidupan berekonomi
syariah
b. Dapat memahami pengertian akad
c. Serta unsur-unsur dari akad
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian akad
Kata akad ‘aqad dalam istilah bahasa berati ikatan dan tali
pengikat. Jika dikatakan ‘aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua
ujung tali lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yamg
bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampakantara dua ucapan dari
kedua belah pihak yang sedang berdialog. Dari sini lah kemudian makna akad
diterjemahkan secara bahasa sebagai :” menghubungkan antara dua perkataan,
masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguat niat berjanji
untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan
janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan
menguatkannya.”
Akad dalam terminology ahli bahasa mencangkup makna ikatan,
pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara
bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama
fiqh, di mana kita mendapati kalangan ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap
ucapan yang seperti jika ada satu rumah milik dua orang yang masing – masimg
mempunyai setengahnya lalu keduanya menjual bagiannya masing – masing kepada
partnernya sesuai dengan kadar bagian yang ada, maka ucapan ini tidak memberi
pengaruh apa – apa dan tidak dapat dinamakan akad tetapi dinamakan bergurau
(bercanda).
2.2
Perbedaan antara akad, tasharruf, dan iltizam
Ketika akad merupakan gambaran dari perbuatan seseorang, maka perlu
kami terangkan disini perbedaan antara makna akad tasharruf dan iltizam.
1.
Pengertian tasharruf
Tasharruf merupakan istilah ulama fiqh adalah :” setiap yang keluar
dari seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’
menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan atau yang setingkat dengan
ucapan berupa aksi atau isyarat, sehingga makna tasharruf dengan pengertian ini
lebih umum dari makna akad, karena akad walaupun bagian dari tasharruf hanya
saja ia sekedar tasharruf qauli (ucapan) belaka yang terjadi karena dua
keinginan yang sama seperti jual beli, nikah, dan yang lainnya dari bentuk –
bentuk akad sedangkan tasharruf tidak harus begitu dan masuk didalamnya
berbagai bentuk perjanjian, komitmen pengguguran hak yang akan harus
dilaksanakan oleh yang memberi tanpa harus ada ucapan penerimaan dari pihak
yang lain, seperti wakaf, talak, ibra’ (membebaskan tanggungan), mengembalikan
barang yang dijual dengan khiyar syarat atau ru’yah (melihat), maka semua akad
dinamakan tasharuuuf dan tidak sebaliknya.
2.
Makna iltizam
Iltizam adalah sebuah tasharruf (perbuatan) yang mengtandung
keinginan untuk melahirkan satu hak atau mewngakhiri satu hak atau
menggugurkannya baik datang dari satu pihak seperti wakaf, talak yang tidak ada
nilai hartanya, juga ibra’, atau datang dari kedua pihak seperti akad jual beli
dan sewa. Atau juga didefinisikan sebagai:” menjadi wajibnya satu urusan bagi
seseorang baik karena pilihan dan keinginan sendiri atau karena keinginan
syara’.
Dengan begitu makna iltizam sama dengan makna akad secara umum, yaitu
setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang sama atau
keinginan satu pihak, sehingga makna iltizam lebih umum dari makna akad secara
khusunya yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang
ada kecocokan, karena iltizam mencangkup setiap ucapan yang kelur untuk
menjelaskan dua keinginan dari kedua belah pihak dan juga termasuk keinginan
satu pihak saja, maka setiap akad adalah iltizam dan tidak semua iltizam adalah
akad.
Ketika yang menjadi objek kejadian ini adalah khiyar dalam akad
sedangkan khiyar itu sendiri artinya pihak yang berakad mempunyai hak untuk
meneruskan akad jual beli atau membatalkannya dan jika diteruskan aka nada
konsekuensinya dan jika dibatalkan, tidak ada pengaruhnya dan masalah ini
berkaitan tentang akad yang shahih, kmaka sudah menjadi keharuan bagi kami
menjelaskan tentang akad dari aspek konsekuensi yang timbnul akibat dari akd,
dan dari sisi ini terbagi kepada akad yang sah dan akad tidak sah. Pada
kesempatan ini kami hanya akan menjelaskan tentang akad yang sah saja karena
akad yang tidak sah tidak ada konsekuensi apa pun.
3.
Akad yang shahih
Akad yang shahih adalah setiap akan yang menjadi sebab yang legal
untuk melahirkan pengaruhkannya dengan cara diucapkan oleh orang yang mempunyai
wewenang, sah hukumnya, selamat dari segala cacat rukun dan sifatnya menurut
definisi sebagian ulama fiqh, sedangkan menurut sebagian yang lain yaitu setiap
akad yang selamat dari segala aib dan menimbulkan akibat.
4.
Pembagian akad yang shahih
Akad yang shahih atau sah terbagi kepada nafidz dan maukuf. Adapun
akad shahih yang nafidz yaitu setiap akad yang keluar dari orang yang memilki
legalitas dan kuasa untuk mengeluarkannya, baik kuasa langsung atau melualui
perwakilan seperti akad yang dibuat oleh seorang yang berakal atau bijak
terhadap dirinya dalam mengatur hartanya, atau akad yang dibuat oleh pemberi
wasiat atau wali kepada orang yang naqish (belum mumayyiz secara sempurna) atau
diakadkan oleh orang yang mendapat perwakilan dari seseorang dengan cara yang
sah.
Hukumnya, mempunyai pengaruh terhadap yang diakadkan tanpa harus
menunggu pembenaran dari seseorang, baik terjadinya pengaruh langsung setelah
keluarnya ucapan seperti dalam akad nafidz (dilaksanakan) mempunyai pengaruh
ketika waktu yang ditentukan telah tiba.
Adapun akad mauquf yaitu setiap akad yang keluar dari pihak yang
memiliki kemampuan untuk berakad namun tidak memiliki wewenang untuk
melakukannya, seperti akad yang keluar dari fudhuli (orang yang menyibukan
dirinya dengan yang tidak perlu) atau dari anak kecil yang mumayyiz dan yang
sama hukumnya jika akad tersebut tidak memerlukan pendapat wali, atau pemberi
wasiat.
Hukumnya, akad ini mempunyai
pengaruh terhadap yang diakadkan kecuali jika dikeluarkan oleh orang yang
memiliki hak yang sah, jka tidak, maka akad ini batal seperti tidak pernah ada.
Pembagian ini disetujui oleh kalangan ulama mazhab hanafi dan
kalangan ulama mazhab maliki, karena merekaa menganggap sah akad fudhuli.
Sedangkan
kalangan ulama mazhab Syafi’I dan kalangan ulama mazhab Hanbali menurut yang
paling kuat dari dua riwayat mereka bahwa akad tidak sah kecuali yang hafidz,
karena mereka menetapkan bagian dari syarat sah yaitu orang yang berakad
mempunyai kuasa untuk melakukannya dan menurut mereka tidak ada akad yang
mauquf.
Dari segi wajib atau tidaknya, akad shahih dibagi kepada dua yaitu
akad lazim dan hair lazim (tidak lazim).
a)
Akad lazim
Adalah
akad shahih yang nafiz (dilaksanakannya secara langsung), satu pihak yang
berakad tidak mempunyai hak fasakh (membatalkan dan melepaskannya). Akad ini
terbagi dua :
1.
Akad lazim yang tidak bisa dibatalkan sama sekali walaupun kedua
pihak bersepakat untuk membatalkannya seperti akad nikah. Jika akad ini
terjadi, maka ia menjadi wajib dan mempunyai pengaruh karena tabiat akadi ini
adalah luzum (wajib). Oleh sebab itu, baik suami atau istri tidak memiliki hak
fasakh atau membatalkannya karena makna fasakh adalah mengangkad akad dari
dasarnya sehingga tidak ada lagi pengaruh akad yang tersisa seperti membatalkan
jual beli. Adapun hak talak yang dimiliki suami, itu bukan termasuk mem-fasakh
akad tetapi menghabiskan akad dengan bukti masih tersisanya sebagian pengaruh
akad nikah berupa wajibnya nafkah dan keharusan membayar mahar.
2.
Akad lazim yang bisa di batalkan jika kedua belah pihak yang
berakad berniat begitu, seperti akad jual beli, sewa menyewa, muzara’ah,
musaqat, shulh (damai), akad ini menjadi lazim (wajib) hanya dengan sempurnanya
akad menurut mereka yang tidak memakai khiyar majlis dari kalangan ahli fiqh,
dan tidak menjadi lazim kecuali setelah habisnya majlis akad atau pemberian hak
memilih oleh salah satu pihak yang berakad atau salah seorang memilih menurut
mereka yang berpendapat dengankhiyar majlis, dan insya allah akan kami jelaskan
pada tempatnya dari kajian ini.
b)
Akad yang tidak lazim (Ghair Lazim)
Akad ghair lazim (tidak lazim) adalah akad yang mana kedua belah
pihak memiliki hak untuk membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus menunggu
kerelaan pihak lain. Contohnya, akad titipan, peminjaman, dan hibah, maka akad
dalam jenis akad tidak wajib bagi kedua belah pihak, boleh bagi setiap yang
menitipkan untuk membatalkan akad baik pihak lain ridha atau tidak karena dia
memiliki kebebasan yang sempurna. Demikian juga dengan akad pinajmmeminjam,
hibah dan yang lainnya, semuanya termasuk akad nafidz yang tidak lazim.
Kadang – kadang ketidaklaziman sesuatu akad dating dari satu
pihak saja, artinya akad bisa menjadi
lazim jika datang dari satu orang dan yang tidak lainnya seperti akad gadai,
dimana jika akad sudah sempurna ia menjadi wajib bagi yang rahin yaitu orang
yang memberi utang, maka tidak boleh dia membatalkan akad kecuali atas ridha
yang menerima gadaian yaitu yang memberi utang, dia tidak boleh membatalkan
akad tanpa kerelaan yang menerima gadaian, demikian juga tidak lajim bagi pihak
murtahin yaitu yang berutang, maka ia mempunyai hak untuk membatalkan akad
kapan saja dia mau baik rahin ridha atau tidak, sama juga dengan akad kafalah
(jaminan, menjadi wajib bagi pemberi jaminan dan tidak wajib bagi yang diberi
jaminan).
4. Bada’i’ Ash-Shana’I’, 5/148,
dan Al-Imam Qarafi, 3/226.
5. Al-Fudhuli dengan Dhadh berbaris depan artinya orang yang sibuk
dengan sesuatu yang tidak perlu baginya (Al-Muhith, entri kata fadhal).
2.3
Pembentukan Akad
Dalam pelaksanaan akad harus memenuhi syarat dan rukunnya. Berbagai
syarat dan rukun pembentukan akad dikemukakan dibawah ini.
1.
Syarat Akad
Zuhaily (1989: 203-205 Juz IV) mengungkapan pendapat Mazahab Hanafi
bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shaih),
rusak (fasid) dan syarat yang batal (bathil) dengan penjelasan
brikut.
1)
Syarat sahih adalah syarat yang sesuai dengan subtans akad,
mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara, sesuai
dengan kebiasaan masyarakat (urf). Misalnya harga barang yang diajaukan
oleh penjual dalam jual bel, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai
dengan urf, dan adanya garansi.
2)
Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu
kriteria yang ada dalam syarat sahih. Misalnya, memberi mobil dengan uji coba
dulu selama satu tahun.
3)
Syarat batil adalah syarat yang mempunyai kriteria syarat sahih dan
tidak member nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi
malah menimbulkan dampak negarif. Misalnya, menjual mobil mensyaratkan pembeli
tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya.
Syarat pembentukan akad dibedakan menjadi: Syarat terjdinya akad,
syarat sahnya akad, syarat pelaksanaan akad, dan syarat kepastian hukum.
Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
1)
Syarat terjadinya akad merupakan segala sesuatu yang dipersyaratkan
untuk terjadinya akad secara syariah. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka
akadnya menjadi batal. Syarat ini dibagi menjadi dua sebagai beerikut.
a.
Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap akad. Syarat
tersebut meliputi:
·
Kedua orang yang melakukan akad cakap betindak: tidak sah orang
yang berakad tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang dibawah
pengampunan (mahjur) karena boros.
·
Yang dijadikan objek menerima hukumnya.
·
Akad itu diizinkan oleh syariah selama dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukan walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
·
Tidak boleh melakukan akad yang dilarang oleh syariah, seperti jual
beli.
·
Akad akan memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn
dianggap sebagai imbangan amanah.
b.
Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan
tidak disyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bias disebut syarat
tambahan (idhafi) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti
adanya saksi dalam pernikahan.
2)
Syarat sah nya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syariah
untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi maka akadnya rusak.
Menurut pendapat yang ditemukan oleh Ibnu Abidin mengemukakan adanya kekhususan
syarat akad setiap terjadinya akad.
3)
Syarat pelaksanaan akad. Dalam pelaksanaan akad ada dua syarat
yaitu pemilihan dan kekuasaan. Pemilihan adalah suatu yang dimiliki oleh
seseorang, sehingga ia bebas memiliki dengan apa yang ia miliki sesuai dengan
aturan syariah, sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber tasharuf,
sesuai dengan ketetapan syaria, baik dengan ketetapan asli yang dilakukan oleh
dirinya, maupun sebagai pengganti (mewakili seseorang). Dalam hal ini di
syaratkan antaralain: 1. Barang yang dijadikan objek akad itu harus miliknya
orang yang berakad jika dijadikan tergantung dari izin pemiliknya yang asli, 2.
Barang yang dijadikan objek akad tidak berkaitan dengan pemilihan orang lain.
4)
Syarat kepastian hukum. Dalam pembentukan akad adalah kepastian.
2.4
Macam-macam akad
1)
Akad tanpa syarat (aqad munijz) yaitu akan yang dilaksanakan
langsung pada waktu selesainya akad tanpa memberikan batasan. Pernyataan akad
yang dikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan
syarat-syarat dan tidak ditentukan waktu pelaksanan setelah adanya akad.
2)
Akad bersyarat (ghairu munijz) atau aqad mualaq, yaitu akad yang
didalam pelaksanaannya terdapat syara-syarat yang telah ditentukan dalam akad,
misalnya, penentuan penyerahan barang-barang yang di akadkan setelah adanya
pembaayaran.
3)
Aqad mudhaf, yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat
syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang
pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.perkataan ini sah
dilakukan pada waktu akad tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum waktu
yang telah ditentukan tiba.
Selanjutnya, akad akan di tinjau dari beberapa bentuk berikut ini.
1. Ada tidaknya bagian (qismah)
pada akad, sehingga akad terbagi dua bagian:
a. Akad musammah yaitu akad yang telah ditetapkan
syarat dan telah ada hukumnya, seperti: jual beli, hibah dan ijarah.
b. Akad ghair musammah akad yang belum
ditetapkan oleh syariat dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Disyariatkan dan tidakya
akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu:
a. Akad
musyaraah ialah akad yang yang diberikan oleh
syara,sepert:gadai dan jual beli.
b. Akad mammuah akad yang dilarang syarah,
seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.
3.
Sah dan batalnya akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu
a.
Akad shahihah yaitu akad yang mencakupi persyaratannya, baik syarat
yang khusus maupun syarat yang umum.
b.
Akad fasidah yaitu aka yang cacat atau cedera, karena kurag salah
satu syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusu, seperti nikah
tanpa wali.
4.
Sifat benda akad dapat ditinjau dari dua sifat, yaitu:
a.
Akad ainiyah yaitu akad yang disyariatkan dengan penyerahan
barang-barang seperti jual beli.
b.
Akad ghair ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan
barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berhasil,
seperti aad amanah.
5.
Cara melakukan akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a.
Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertetu, seperti akad
pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali dan petugas pencatat nikah.
b.
Akad ridhiyah yaitu akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan
terjadi karena keridhoan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6.
Berlaku atau tidaknya kad dpat ditinjau dalam dua segi, yaitu:
a.
Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari
penghalang-penghalang akad.
b.
Akad mauqufah yaituakad-akad yang bertalian dengan
persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah
disetujui pemilik harta.)
7.
Berdasarkan maksud dan tujuan akad dapat dibedakan oleh beberapa
hal, yaitu:
1.
Kepemilikan
2.
Penjagaan
3.
Menghilangkan kepemilikan
4.
Kemutlakan, seseorang yang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
5.
Perkaitan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas seperti
orang gila
2.5 Hikmah akad
Hikmha diisyaratkannya
dalam muamalah, yaitu diantaranya:
a.
Munculnya pertanggungjawaban moral dan material.
b.
Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c.
Terhindarnya perslisihan dari kedua belah phak.
d.
Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e.
Status kepemilikan menjadi jelas.
2.6. Larangan-larangan Dalam Jual Beli
Di antara larangan-larangan jual beli itu adalah :
·
Jual
beli yang dilakukan dengan cara menipu, baik menipu ukuran maupun timbangan.
·
Usaha
memperjual belikan barang-barang haram, atau syubhat seperti memperjual belikan
wanita sebagai pelacur; menjual anak kambing yang masih dalam kandungan.
·
Jual
beli dengan sistim penimbunan barang, agar mendapatkan keuntungan yang sangat
besar dan mekanisme pasar menjadi kacau.
·
Jual
beli dengan sistim kredit atau dua harga dalam satu barang.
·
Jual
beli buah-buahan yaang baru mulai berbuah/belum masak, karena mengandung unsur
speulasi atau untung-untungan.
2.7 Hukum-hukum Dalam Jual Beli
·
Mubah
(boleh), ini merupakan hukum asal dari jual beli.
·
Wajib,
seperti wali anak yatim yang menjualkan harta anak yatim karena terpaksa.
·
Haram,
yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
·
Sunnah,
seperti menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkannya dengan harga
yang wajar.
Prof.Dr.H.Ismail Nawawi, MPA,M.Si. Fiqih
Muamalah Klasik dan Kontenporer.( Bogor: Ghalia Indonesia) hlm. 20-28
H. Soleh Hidayah, dkk. Fiqih. Pt.
Bintang ilmu. Hal. 124
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai
diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua
pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas
diskursus yang dibenarkan oleh syara' dan memiliki implikasi hukum
tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang
namanya rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya
sebuah akad. Adapun mengenai jenis-jenis
akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai
perspektif, baik dari segi ketentuan syari'ahnya, cara pelaksanaan, zat
benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya
kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak
dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan
terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang
bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan
kita sehari-hari
3.2 Saran
Demikian makalah yang
dapat kami buat, semoga dapat mendatangkan mafaat bagi kami (pemakalah)
khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Kami selalu mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah kami yang berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi,
Prof. Dr. H. Ismail, MPA, M.Si. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor:
Galih Indonesia 2012
Aziz,
Prof. Dr. Abdul Muhammad Azzam. Fiqih Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqih
Islam. Jakarta 2010
H.
Hidayah, Soleh dkk. Fiqih. Pt. Bintang Ilmu 2011