Selasa, 11 Maret 2014

akad

BAB I
Pendahuluan
1.1        Latar Belakang
Islam merupakan ajaran Allah Swt yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara materi maupun spiritual, selalu berhubungan dan berinteraksi antara satu dan yang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain inilah antara yang satu dan yang lain sering terjadi interaksi. Sebelum mengemukakan konsep akad, terlebih dahulu akan dikemukakan akad secara etimologis atau arti dari segi bahasa. Kata akad berasal dari bahaasa Arab, yaitu ar-rabtu yang berarti menghubungkan atau mengingatkan, atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu.
1.2        Perumusan Masalah
2.1  Pengertian akad
2.2  Perbedaan akad, tasharrruf dan iltizam
2.3  Pembentukan akad
2.4  Macam-macam akad
2.5  Hikmah akad
1.3          Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini agar Mahasiswa/I lebih mengetahui tentang Akad dalam Pandangan Islam dan Terwujudnya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
1.4        Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini Penulis berharap dalam materi yang dibahas Mahasiswa/I mampu memehami :
a. Mampu menerapkan dalam kehidupan berekonomi syariah
b. Dapat memahami pengertian akad 
c. Serta unsur-unsur dari akad
BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pengertian akad
Kata akad ‘aqad dalam istilah bahasa berati ikatan dan tali pengikat. Jika dikatakan ‘aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yamg bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampakantara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog. Dari sini lah kemudian makna akad diterjemahkan secara bahasa sebagai :” menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguat niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya.”
Akad dalam terminology ahli bahasa mencangkup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqh, di mana kita mendapati kalangan ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang seperti jika ada satu rumah milik dua orang yang masing – masimg mempunyai setengahnya lalu keduanya menjual bagiannya masing – masing kepada partnernya sesuai dengan kadar bagian yang ada, maka ucapan ini tidak memberi pengaruh apa – apa dan tidak dapat dinamakan akad tetapi dinamakan bergurau (bercanda).

2.2  Perbedaan antara akad, tasharruf, dan iltizam
Ketika akad merupakan gambaran dari perbuatan seseorang, maka perlu kami terangkan disini perbedaan antara makna akad tasharruf dan iltizam.
1.      Pengertian tasharruf
Tasharruf merupakan istilah ulama fiqh adalah :” setiap yang keluar dari seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan atau yang setingkat dengan ucapan berupa aksi atau isyarat, sehingga makna tasharruf dengan pengertian ini lebih umum dari makna akad, karena akad walaupun bagian dari tasharruf hanya saja ia sekedar tasharruf qauli (ucapan) belaka yang terjadi karena dua keinginan yang sama seperti jual beli, nikah, dan yang lainnya dari bentuk – bentuk akad sedangkan tasharruf tidak harus begitu dan masuk didalamnya berbagai bentuk perjanjian, komitmen pengguguran hak yang akan harus dilaksanakan oleh yang memberi tanpa harus ada ucapan penerimaan dari pihak yang lain, seperti wakaf, talak, ibra’ (membebaskan tanggungan), mengembalikan barang yang dijual dengan khiyar syarat atau ru’yah (melihat), maka semua akad dinamakan tasharuuuf dan tidak sebaliknya.
2.      Makna iltizam
Iltizam adalah sebuah tasharruf (perbuatan) yang mengtandung keinginan untuk melahirkan satu hak atau mewngakhiri satu hak atau menggugurkannya baik datang dari satu pihak seperti wakaf, talak yang tidak ada nilai hartanya, juga ibra’, atau datang dari kedua pihak seperti akad jual beli dan sewa. Atau juga didefinisikan sebagai:” menjadi wajibnya satu urusan bagi seseorang baik karena pilihan dan keinginan sendiri atau karena keinginan syara’.
Dengan begitu makna iltizam sama dengan makna akad secara umum, yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang sama atau keinginan satu pihak, sehingga makna iltizam lebih umum dari makna akad secara khusunya yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang ada kecocokan, karena iltizam mencangkup setiap ucapan yang kelur untuk menjelaskan dua keinginan dari kedua belah pihak dan juga termasuk keinginan satu pihak saja, maka setiap akad adalah iltizam dan tidak semua iltizam adalah akad.
Ketika yang menjadi objek kejadian ini adalah khiyar dalam akad sedangkan khiyar itu sendiri artinya pihak yang berakad mempunyai hak untuk meneruskan akad jual beli atau membatalkannya dan jika diteruskan aka nada konsekuensinya dan jika dibatalkan, tidak ada pengaruhnya dan masalah ini berkaitan tentang akad yang shahih, kmaka sudah menjadi keharuan bagi kami menjelaskan tentang akad dari aspek konsekuensi yang timbnul akibat dari akd, dan dari sisi ini terbagi kepada akad yang sah dan akad tidak sah. Pada kesempatan ini kami hanya akan menjelaskan tentang akad yang sah saja karena akad yang tidak sah tidak ada konsekuensi apa pun.
3.      Akad yang shahih
Akad yang shahih adalah setiap akan yang menjadi sebab yang legal untuk melahirkan pengaruhkannya dengan cara diucapkan oleh orang yang mempunyai wewenang, sah hukumnya, selamat dari segala cacat rukun dan sifatnya menurut definisi sebagian ulama fiqh, sedangkan menurut sebagian yang lain yaitu setiap akad yang selamat dari segala aib dan menimbulkan akibat.
4.      Pembagian akad yang shahih
Akad yang shahih atau sah terbagi kepada nafidz dan maukuf. Adapun akad shahih yang nafidz yaitu setiap akad yang keluar dari orang yang memilki legalitas dan kuasa untuk mengeluarkannya, baik kuasa langsung atau melualui perwakilan seperti akad yang dibuat oleh seorang yang berakal atau bijak terhadap dirinya dalam mengatur hartanya, atau akad yang dibuat oleh pemberi wasiat atau wali kepada orang yang naqish (belum mumayyiz secara sempurna) atau diakadkan oleh orang yang mendapat perwakilan dari seseorang dengan cara yang sah.
Hukumnya, mempunyai pengaruh terhadap yang diakadkan tanpa harus menunggu pembenaran dari seseorang, baik terjadinya pengaruh langsung setelah keluarnya ucapan seperti dalam akad nafidz (dilaksanakan) mempunyai pengaruh ketika waktu yang ditentukan telah tiba.
Adapun akad mauquf yaitu setiap akad yang keluar dari pihak yang memiliki kemampuan untuk berakad namun tidak memiliki wewenang untuk melakukannya, seperti akad yang keluar dari fudhuli (orang yang menyibukan dirinya dengan yang tidak perlu) atau dari anak kecil yang mumayyiz dan yang sama hukumnya jika akad tersebut tidak memerlukan pendapat wali, atau pemberi wasiat.
Hukumnya, akad ini mempunyai pengaruh terhadap yang diakadkan kecuali jika dikeluarkan oleh orang yang memiliki hak yang sah, jka tidak, maka akad ini batal seperti tidak pernah ada.
Pembagian ini disetujui oleh kalangan ulama mazhab hanafi dan kalangan ulama mazhab maliki, karena merekaa menganggap sah akad fudhuli.
Sedangkan kalangan ulama mazhab Syafi’I dan kalangan ulama mazhab Hanbali menurut yang paling kuat dari dua riwayat mereka bahwa akad tidak sah kecuali yang hafidz, karena mereka menetapkan bagian dari syarat sah yaitu orang yang berakad mempunyai kuasa untuk melakukannya dan menurut mereka tidak ada akad yang mauquf.
 


Dari segi wajib atau tidaknya, akad shahih dibagi kepada dua yaitu akad lazim dan hair lazim (tidak lazim).
a)      Akad lazim
Adalah akad shahih yang nafiz (dilaksanakannya secara langsung), satu pihak yang berakad tidak mempunyai hak fasakh (membatalkan dan melepaskannya). Akad ini terbagi dua :
1.      Akad lazim yang tidak bisa dibatalkan sama sekali walaupun kedua pihak bersepakat untuk membatalkannya seperti akad nikah. Jika akad ini terjadi, maka ia menjadi wajib dan mempunyai pengaruh karena tabiat akadi ini adalah luzum (wajib). Oleh sebab itu, baik suami atau istri tidak memiliki hak fasakh atau membatalkannya karena makna fasakh adalah mengangkad akad dari dasarnya sehingga tidak ada lagi pengaruh akad yang tersisa seperti membatalkan jual beli. Adapun hak talak yang dimiliki suami, itu bukan termasuk mem-fasakh akad tetapi menghabiskan akad dengan bukti masih tersisanya sebagian pengaruh akad nikah berupa wajibnya nafkah dan keharusan membayar mahar.
2.      Akad lazim yang bisa di batalkan jika kedua belah pihak yang berakad berniat begitu, seperti akad jual beli, sewa menyewa, muzara’ah, musaqat, shulh (damai), akad ini menjadi lazim (wajib) hanya dengan sempurnanya akad menurut mereka yang tidak memakai khiyar majlis dari kalangan ahli fiqh, dan tidak menjadi lazim kecuali setelah habisnya majlis akad atau pemberian hak memilih oleh salah satu pihak yang berakad atau salah seorang memilih menurut mereka yang berpendapat dengankhiyar majlis, dan insya allah akan kami jelaskan pada tempatnya dari kajian ini.

b)      Akad yang tidak lazim (Ghair Lazim)
Akad ghair lazim (tidak lazim) adalah akad yang mana kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus menunggu kerelaan pihak lain. Contohnya, akad titipan, peminjaman, dan hibah, maka akad dalam jenis akad tidak wajib bagi kedua belah pihak, boleh bagi setiap yang menitipkan untuk membatalkan akad baik pihak lain ridha atau tidak karena dia memiliki kebebasan yang sempurna. Demikian juga dengan akad pinajmmeminjam, hibah dan yang lainnya, semuanya termasuk akad nafidz yang tidak lazim.
Kadang – kadang ketidaklaziman sesuatu akad dating dari satu pihak  saja, artinya akad bisa menjadi lazim jika datang dari satu orang dan yang tidak lainnya seperti akad gadai, dimana jika akad sudah sempurna ia menjadi wajib bagi yang rahin yaitu orang yang memberi utang, maka tidak boleh dia membatalkan akad kecuali atas ridha yang menerima gadaian yaitu yang memberi utang, dia tidak boleh membatalkan akad tanpa kerelaan yang menerima gadaian, demikian juga tidak lajim bagi pihak murtahin yaitu yang berutang, maka ia mempunyai hak untuk membatalkan akad kapan saja dia mau baik rahin ridha atau tidak, sama juga dengan akad kafalah (jaminan, menjadi wajib bagi pemberi jaminan dan tidak wajib bagi yang diberi jaminan). 

4.      Bada’i’  Ash-Shana’I’, 5/148, dan Al-Imam Qarafi, 3/226.
5.      Al-Fudhuli dengan Dhadh berbaris depan artinya orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak perlu baginya (Al-Muhith, entri kata fadhal).

2.3  Pembentukan Akad
Dalam pelaksanaan akad harus memenuhi syarat dan rukunnya. Berbagai syarat dan rukun pembentukan akad dikemukakan dibawah ini.
1.      Syarat Akad
Zuhaily (1989: 203-205 Juz IV) mengungkapan pendapat Mazahab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shaih), rusak (fasid) dan syarat yang batal (bathil) dengan penjelasan brikut.
1)      Syarat sahih adalah syarat yang sesuai dengan subtans akad, mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara, sesuai dengan kebiasaan masyarakat (urf). Misalnya harga barang yang diajaukan oleh penjual dalam jual bel, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai dengan urf, dan adanya garansi.
2)      Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat sahih. Misalnya, memberi mobil dengan uji coba dulu selama satu tahun.
3)      Syarat batil adalah syarat yang mempunyai kriteria syarat sahih dan tidak member nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi malah menimbulkan dampak negarif. Misalnya, menjual mobil mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya.
Syarat pembentukan akad dibedakan menjadi: Syarat terjdinya akad, syarat sahnya akad, syarat pelaksanaan akad, dan syarat kepastian hukum. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
1)      Syarat terjadinya akad merupakan segala sesuatu yang dipersyaratkan untuk terjadinya akad secara syariah. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka akadnya menjadi batal. Syarat ini dibagi menjadi dua sebagai beerikut.
a.       Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap akad. Syarat tersebut meliputi:
·         Kedua orang yang melakukan akad cakap betindak: tidak sah orang yang berakad tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang dibawah pengampunan (mahjur) karena boros.
·         Yang dijadikan objek menerima hukumnya.
·         Akad itu diizinkan oleh syariah selama dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukan walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
·         Tidak boleh melakukan akad yang dilarang oleh syariah, seperti jual beli.
·         Akad akan memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
b.      Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bias disebut syarat tambahan (idhafi) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan.
2)      Syarat sah nya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syariah untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi maka akadnya rusak. Menurut pendapat yang ditemukan oleh Ibnu Abidin mengemukakan adanya kekhususan syarat akad setiap terjadinya akad. 
3)      Syarat pelaksanaan akad. Dalam pelaksanaan akad ada dua syarat yaitu pemilihan dan kekuasaan. Pemilihan adalah suatu yang dimiliki oleh seseorang, sehingga ia bebas memiliki dengan apa yang ia miliki sesuai dengan aturan syariah, sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber tasharuf, sesuai dengan ketetapan syaria, baik dengan ketetapan asli yang dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti (mewakili seseorang). Dalam hal ini di syaratkan antaralain: 1. Barang yang dijadikan objek akad itu harus miliknya orang yang berakad jika dijadikan tergantung dari izin pemiliknya yang asli, 2. Barang yang dijadikan objek akad tidak berkaitan dengan pemilihan orang lain.
4)      Syarat kepastian hukum. Dalam pembentukan akad adalah kepastian.
2.4  Macam-macam akad
1)      Akad tanpa syarat (aqad munijz) yaitu akan yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad tanpa memberikan batasan. Pernyataan akad yang dikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak ditentukan waktu pelaksanan setelah adanya akad.
2)      Akad bersyarat (ghairu munijz) atau aqad mualaq, yaitu akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syara-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya, penentuan penyerahan barang-barang yang di akadkan setelah adanya pembaayaran.
3)      Aqad mudhaf, yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum waktu yang telah ditentukan tiba.

Selanjutnya, akad akan di tinjau dari beberapa bentuk berikut ini.
1.     Ada tidaknya bagian (qismah) pada akad, sehingga akad terbagi dua bagian:
a.   Akad musammah yaitu akad yang telah ditetapkan syarat dan telah ada hukumnya, seperti: jual beli, hibah dan ijarah.
b.   Akad ghair musammah akad yang belum ditetapkan oleh syariat dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2.   Disyariatkan dan tidakya akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu:
a. Akad musyaraah ialah akad yang yang diberikan oleh  syara,sepert:gadai dan jual beli.
b.   Akad mammuah akad yang dilarang syarah, seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.
3.      Sah dan batalnya akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu
a.       Akad shahihah yaitu akad yang mencakupi persyaratannya, baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.
b.      Akad fasidah yaitu aka yang cacat atau cedera, karena kurag salah satu syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusu, seperti nikah tanpa wali.
4.      Sifat benda akad dapat ditinjau dari dua sifat, yaitu:
a.       Akad ainiyah yaitu akad yang disyariatkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
b.      Akad ghair ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berhasil, seperti aad amanah.
5.      Cara melakukan akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a.       Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertetu, seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali dan petugas pencatat nikah.
b.      Akad ridhiyah yaitu akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhoan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6.      Berlaku atau tidaknya kad dpat ditinjau dalam dua segi, yaitu:
a.       Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b.      Akad mauqufah yaituakad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta.)


7.      Berdasarkan maksud dan tujuan akad dapat dibedakan oleh beberapa hal, yaitu:
1.      Kepemilikan
2.      Penjagaan
3.      Menghilangkan kepemilikan
4.      Kemutlakan, seseorang yang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
5.      Perkaitan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas seperti orang gila
2.5  Hikmah akad
        Hikmha diisyaratkannya dalam muamalah, yaitu diantaranya:
a.       Munculnya pertanggungjawaban moral dan material.
b.      Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c.       Terhindarnya perslisihan dari kedua belah phak.
d.      Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e.       Status kepemilikan menjadi jelas.
2.6. Larangan-larangan Dalam Jual Beli
Di antara larangan-larangan jual beli itu adalah :
·         Jual beli yang dilakukan dengan cara menipu, baik menipu ukuran maupun timbangan.
·         Usaha memperjual belikan barang-barang haram, atau syubhat seperti memperjual belikan wanita sebagai pelacur; menjual anak kambing yang masih dalam kandungan.
·         Jual beli dengan sistim penimbunan barang, agar mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan mekanisme pasar menjadi kacau.
·         Jual beli dengan sistim kredit atau dua harga dalam satu barang.
·         Jual beli buah-buahan yaang baru mulai berbuah/belum masak, karena mengandung unsur speulasi atau untung-untungan.
2.7 Hukum-hukum Dalam Jual Beli
·         Mubah (boleh), ini merupakan hukum asal dari jual beli.
·         Wajib, seperti wali anak yatim yang menjualkan harta anak yatim karena terpaksa.
·         Haram, yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
·         Sunnah, seperti menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkannya dengan harga yang wajar.

















Prof.Dr.H.Ismail Nawawi, MPA,M.Si. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontenporer.( Bogor: Ghalia Indonesia) hlm. 20-28
H. Soleh Hidayah, dkk. Fiqih. Pt. Bintang ilmu. Hal. 124
Moh. Syamsi, Abu Farhad, S. Sa’adah, Rangkuman Pengetahuan Agama Islam, (Surabaya: AMALIA, 2004) hlm 77


BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara' dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad.  Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari'ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari

3.2 Saran

Demikian makalah yang dapat kami buat, semoga dapat mendatangkan mafaat bagi kami (pemakalah) khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah kami yang berikutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Prof. Dr. H. Ismail, MPA, M.Si. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Galih Indonesia 2012
Aziz, Prof. Dr. Abdul Muhammad Azzam. Fiqih Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam. Jakarta 2010
H. Hidayah, Soleh dkk. Fiqih. Pt. Bintang Ilmu 2011

Moh. Syamsi, Abu Farhad, S. Sa’adah, Rangkuman Pengetahuan Agama Islam, Surabaya: AMALIA, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar