KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi
robbil ‘alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
memberikan rohmat, hidayah dan inayahNya pada kita semua sehingga sampai saat
ini kita semua masih dalam keadaan sehat kuat dan yang terpenting dalam keadaan
iman dan islam.
Sholawat
dan salam semoga tetap terhaturkan pada junjungan kita nabi agung, penebar
rohmat dan penyebar benih kesucian cinta Yaitu Nabi Muhammad SAW. Pun kepada
keluarga, para sahabat, tabi,in dan semua kaum muslimin muslimat.
Alhamdulillahirobbil
‘alamin penulis beserta crew-crewnya bisa menyelesikan penulisan makalah yang
berjudul “ IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM “ ini tentunya berbekal pada
keyakinan dan kemantapan dan yang terpenting taufiq , hidayah dan ma’unah dari
Allah SWT.
Penulis
menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan makalah
ini. Baik dari segi bahasa, terjemah atau uslub-uslub yang ada. Maka dari itu
penulis sangat berharap saran,masukan serta bimbingan dari para pembaca untuk
menyumbangkan idenya, partisipasinya dan pikiran-pikirannya
Akhirnya
kami hanya mohon pada Allah SWT semoga makalah ini memberi manfa’at pada kita
semua dan khususnya pada semua Mahasiswa dan Mahasiswi Sehingga dapat mengantar
dan mengkader jiwa-jiwa pemuda yang bermanfa’at,berguna bagi masyarakat bangsa
dan Negara. Aamiin ya Robbal “alamin.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Ijma’ merupakan kebulatan fuqaha
mujtahidin pada sesuatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa rasulullah SAW dan
merupakan sumber yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum Islam dan menduduki
tingkatan ke tiga dalam uruan sumber hukum Islam dan yang keempat Qiyas dan
yang kelima ijtihad. Ijma’ sebagai sumber hukum di tujukan oleh beberapa ayat
Qur;an dan Hadits Nabi yang mengatakan bahwa kebulatan ahli ilmu dan fikiran
menjadi pegangan, dan menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang pemisahan
diri.
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’
itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai
doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional.
Teori ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak
konsensus mutlak dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun
konsensus mutlak mengenai materi ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit
terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai
realitas dan konsep yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti factual
tidak cukup untuk menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat
esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat
jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat
dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun
ruang bagi ketidak sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’
juga tidak mau menerima gagasan relatifitas atau meluasnya ketidaksepakatan
dalam dirinya
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang diatas, maka
perlu adanya tindakan yaitu study mengenai analisis lebih mendalam :
1) Apa
yang dimaksud dengan Ijma’ ?
2) Apa
sandaran dari Ijma’ ?
3) Apa macam-macam dari Ijma’ ?
4) Bagaimana kedudukan dan kehujjahan Ijma’ ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan
Makalah ini adalah :
1) Untuk mengetahui dan memahami tentang pengertian
Ijma’.
2) Untuk
mengetahui sandaran dari Ijma’.
3) Untuk
mengetahui macam-macam dari Ijma’.
4) Untuk
mengetahui kedudukan dan kehujjahan Ijma’.
BAB
II PEMBAHASAN
A.
DEFINISI IJMA’
Ijma
adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits). Imam Syafi’i
membagi hukum yang bersumber dari dalil-dalil syara’ menjadi dua yaitu :
·
Hukum zhahir dan
batin, yaitu : yaitu Hukum-hukum syara’ yang bersumber dari nash yang
mutawatir, baik Al-Qur’an maupun hadits
mutawatir. Oleh karena itu, beliau memberikan komentar terhadap hukum syara’ yang
bersumber dari Al-Qur’an dan hadits yang mtawatir sebagai berikut : “
Kami telah mantapkan hukumnya dengan benar, baik bentuk zhahir mauupun
batinnya.
·
Hukum zhahir
yaitu: Hukum-hukum syara’ yang
ditetapkan berdasarkan dalil hadits ahad,ijma’ atau qiyas, yang semua itu tidak disepakati oleh para ulama. Dalam
mengomentari hukum-hukum ini Syafi’i berkata : “Kami telah menetapkan hukumnya
dengan benar menurut zhahirnya, karena mungkin orang yang meriwayatkan hadits
menjadi kesalahan.[1]
1. IJMA' MENURUT BAHASA
Ijma',
secara etimologi berasal dari kalimat ajma’a yujmi’u Ijma'an dengan isim maf’ul
mujma yang memiliki dua makna.
Pertama.
Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat [2].
Oleh karena itu, jika dikatakan "ajma’a fulan 'ala safar", berarti
bila ia telah bertekad kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya.
2. IJMA' MENURUT ISTILAH
Para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti istilah. Ini
dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma'. Namun
definisi Ijma' yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama
ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama.
Penjelasan
Definisi Ini Sebagai Berikut :
Para
ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk
keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata "para ulama ahli
ijtihad" dalam definisi ini memberikan makna kesepakatan kalangan awam
tidak termasuk ijma'. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu
diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa
dianggap ijma.
B.Status
Kehujjahan ijma’
Jumhur
ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) berdasarkan
dua dalil berikut :
1. Hadits-hadits
yang menyatakan bahwa umat Muhammad SAW tidak akan bersepakat terhadap
kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimimn baik, maka menurut Allah
SWT juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah
disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Imam
Syafi’i meriwayatkan sebuah atsar, bahwa khalifah Umar ra. Suatu hari
memberikan khotbah di syam, kemudian beliau berkata sebagai berikut :
“
(Suatu ketika) Rasulullah SAW berdiri dihadapan kita (para sahabat)
sebagaimana saya berdiri dihadapan kalian. Kemudian generasi sesudahnya
(tabi’in). Kemudian generasi sesudahnya lagi (tabi’it tabi’in). Setelah
generasi itu, maka muncullah kebohongan, sehingga ada orang yang
beraksi,padahal ia tidak diminta untuk menjadi saksi. Ingatllah barang siapa
yang ingin masuk surga, maka ikutilah para jama’ah. Karena syaitan itu bersama
orang yang menyendiri, dan dia akan lebih jauhkepada dua orang (dibanding hanya
seorang). Jika ada dua sejoli bersepi-sepi, maka syaitanlah teman yang ketiga.Barang
siapa yang bergembira atas kebaikannya, an bersedih atas kejelekan
perbuatannya, maka ia adalah orang mikmin sejati”.
2. Firman
Allah SWT dalam surat An-Nisa’
“
Dan barang siapa menentng Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatannyayang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia kedalam jahannam
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa : 115)
Nash diatas
menjelaskan,bahwa mengikuti jalan yang bukan jalannya orang mukmin adalah
haram. Karena orang yang melakukan hal tersebut berarti menentang Allah
SWT dan Rosul-Nya, dan diancam neraka
Jahannam.Jika mengukuti jalan yang bbukan orang mukmin adalh haram berarti
mengikuti jalan orang-orang mumin adalah
wajib.
Dalam kontek ini, Imam Syafi’i
mengemukakan dalil, bahwa kesepakatan (Ijma’) pra mujtahid terhadap suatu hukum
yang bersandar pada nash-nash Al-Qur’an dan hadits. Tentu tidak mungkin Hadits
tersebut tidak diketahui oleh semua mujtahid. Dlam hal ini Imam Syafi’i berkata
: “Kami yakin bahw ahadits Rosulullah SAW tidak mungkin tidak diketahui oleh
semua mujtahid. Meskipun mungkin juga tidak diketahui oleh sebagian oleh
sebagian mujtahid. Dan kami yakin bahwa para mujtahid tidak mungkin bersepakat
pada suatu hukum yang berbeda dengan hadits Rosulullah SAW, atau bersepakat
dalam sesalahan”.[3]
Apabila ijma’ itu diketahui,maka ijma’ itu adalah hujjah
yang qath’i, dan hal itu menunjukan bahwa masalah yang diijtihadkan hukumnya
menjadi pasti,tidak patut memperselisihkannya,tidak pula terpengaruh oleh
dalil-dalil zhanni yang menjadi penentangnya.[4]
Jadi pada dasarnya hukum yang disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat
islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya.Ijma’ atas suatau
hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula,karena mujtahid Islam
memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar.Bila hasil ijtihadnya tidak
didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna
dari petunjuk nash yang ada.Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melewai bahas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara
kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan
dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalil yang telah ditetapkan
oleh syara’ seperti istihsan dan istishhab.Sebagaimana ijma’ dapat digunakan
untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa, ia juga dapat digunakan
memberikan ta’wil atau tafsir suatu nash, alasan hukum nash atau penjelasan
hal-hal yang berkenaan dengan nash.
C. SYARAT-SYARAT IJMA' :
Ijma' memiliki syarat-syarat, diantaranya :
1. Tetap melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya
dikalangan 'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan
luas pengetahuannya.
2. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika
didahului
oleh hal itu maka bukanlah ijma' karena perkataan tidak batal dengan
kematian yang mengucapkannya.
Maka ijma' tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan
tetapi ijma' bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan pendapat
yang
rojih karena kuatnya pendalilannya. Dan dikatakan : tidak disyaratkan
yang
demikian, maka bisa ditetapkan atas salah satu pendapat yang ada
sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian ia menjadi hujjah bagi ummat
yang setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan
berlalunya
zaman orang-orang yang bersepakat, maka ijma' ditetapkan dari ahlinya
(mujtahidin) hanya dengan kesepakatan mereka (pada saat itu juga, pent)
dan tidak boleh bagi mereka atau yang selain mereka menyelisihinya
setelah
itu, karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma' adalah hujjah,
tidak
ada padanya pensyaratan berlalunya zaman terjadinya ijma' tersebut.
Karena
ijma' dihasilkan pada saat terjadinya kesepakatan mereka, maka apa yang
bisa membatalkannya?
Dan jika sebagian mujtahid mengatakan sesuatu perkataan atau
mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu masyhur di kalangan ahlul
Ijtihad
dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka untuk
mengingkari hal tersebut, maka dikatakan : hal tersebut menjadi ij ma',
dan
dikatakan : hal tersebut menjadi hujjah bukan ijma', dan dikatakan :
bukan
ijma' dan bukan pula hujjah, dan dikatakan : jika masanya telah berlalu
sebelum adanya pengingkaran maka hal itu merupakan ijma', karena diam
mereka (mujtahidin) secara terus-menerus sampai berlalunya masa padahal
mereka memiliki kemampuan untuk mengingkari merupakan dalil atas
kesepakatan mereka, dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada
kebenaran.[5]
D. Sandaran ijma
Ijma tidaqk dipandang sah kecuali mempunyai sandaran ijma yang kuat
yaitu baik dalil qot’i
Seperti qur’an dan hadis mutawattir , maupun yang dzonni seperti hadis
ahad dan qiyam. Karena ijma bukan dalilyang berdiri sendiri.
E.Kemungkinan
terjadinya ijma’
Ada dua hal yang harus ada
dalam penentuan ijma :
a.
Penyelidikan terhadap
kredibilitas mujtahid
b.
Hendaknya didengarkan semua
pendapat yang terlontar dan pendapat- pendapat mereka ada kesesuaian . hal ini tidak
akan terwujud kecuali ia sudah diriwayatkan oleh sejumlah orang yang riwayatnya
diketahui,yaitu jumlah yang bisa menimbulkan ilmu. Memastikan kredibilitas
seorag mujtahid adalah dengan cara yang berbeda menurut perbedaan zaman[6]
C.1 Kemungkinan terjadinya ijma pada masa
lalu
Karena di zaman sahabat pada masa
khulafaurasyidin belum banyak terjadi perbedaan pendapat dan belum banyak fuqoha dan
sega;la sesuatunya selalu diadakan musyawarah maka pada zaman sahabat ini telah
terjadi ijma seperti : tentang haramnya lemak babi,seperenam bagi beberapa
nenek pewaris cucu saudara lainnya.
C.2 Kemungkinan terjadinya ijma pada masa
sekarang
Ijma pada masa sekarang sulit untuk
dilaksanakan terutama karena terbentur masalah
persyaratan ujtahid sebagai rukun utama ijma, disamping bergantung kepada suatu
negara.
F. Macam- macam ijma
Ditinjau dari cara penetapannya , ijma terbagi atas
dua yaitu :
1.
Ijma sharih : Ijma yang sesungguhya , dalam pandangan
jumhur ulama ia adalah suatu hujjah hukum syara’
2.
Ijma sukuti : ijma yang seakan- akan karena diam tidak
berarti sepakat sehingga tidak dikatakan dikatakan pasti adanya kesepakatan dan
tidak pasti terjadinya ijma
Selain ijma tersebut diatas ada macam- macam ijma yang
lain yaitu :
1.
Ijma shahabi ; ijma di zaman Abu bakar , Umar, dan
Utsman, dan Ali Radiyallahu anhum . ijma semacam ini bisa dijadikan hujjah.
Nabi Saw memerintahkan mengikutinya dengan sabdanya dalam hadits riwayat Daud [7]
Artinya : Hendaklah kamu berpegang pada cara- caraku
dan cara- cara Khulafau rasyidin
2.
Zaman setelah khulafau rasyidin yaitu tatkala islam
telah meluas , dan para fuqaha banyak yang pindah ke negeri islam yang baru,
ditambah fuqaha tabi’in yang tidak sedukit jumlahnya , di tambah lagi dengan pertentangan
politik ,maka di zaman ini sukar dibayangkan adanya ijma
G.
Hukum bagi orang-orang yang mengingkari ijma
Ada dua macam pendapat ulama terkait hal ini yaitu :
a.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari ijma yang
qot’I adalah kufur, seperti ingkar terhadap ijma ulama terhadap kewajiban
shalat, haramnya zina dan mencuri.
b.
Sebagian lagi berpendapat kehujjahan ijma itu adalah
dzonny, tidak qot’I maka orang yang ingkar terhadapijma adalah tidak kufur,
misalnya mengingkari tentang : akan turunnya Nabi Isadi akhir zaman,
mengingkari isro’mi’raj dsb.
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil
syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al
Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits.
Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak
pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan
dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum
diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat
diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’).
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat
beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi
itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu
sendiri.
B.
Saran Dan
Kritikan
Semoga makalah ini dapat menjadi
media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan
terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar,
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Muhammad
Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqh, (Pustaka Amani, Jakarta : 2007)
Asep Nur syamsi Diktat ushul fiqih,
Muhammad shalih al- utsaimin,prinsip ilmu ushul fiqih ,2007
al-Jami li Ahkam Ushul
Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan
Prof.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta : Cet ke 13 2010),
[1]
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta : Cet ke 13
2010), Hal 307
[2]
al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan (hlm. 154)
[3]
Ibid 1 hal 315
[5]Muhammad shalih al- utsaimin,prinsip
ilmu ushul fiqih ,2007 hlm 100
[6]
Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqh, (Pustaka Amani, Jakarta : 2007)
hal 633
[7]
Asep Nur syamsi Diktat ushul
fiqih, hlm 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar