Kamis, 06 Maret 2014

pengertian ijma


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rohmat, hidayah dan inayahNya pada kita semua sehingga sampai saat ini kita semua masih dalam keadaan sehat kuat dan yang terpenting dalam keadaan iman dan islam.
Sholawat dan salam semoga tetap terhaturkan pada junjungan kita nabi agung, penebar rohmat dan penyebar benih kesucian cinta Yaitu Nabi Muhammad SAW. Pun kepada keluarga, para sahabat, tabi,in dan semua kaum muslimin muslimat.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin penulis beserta crew-crewnya bisa menyelesikan penulisan makalah yang berjudul “ IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM “ ini tentunya berbekal pada keyakinan dan kemantapan dan yang terpenting taufiq , hidayah dan ma’unah dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Baik dari segi bahasa, terjemah atau uslub-uslub yang ada. Maka dari itu penulis sangat berharap saran,masukan serta bimbingan dari para pembaca untuk menyumbangkan idenya, partisipasinya dan pikiran-pikirannya
Akhirnya kami hanya mohon pada Allah SWT semoga makalah ini memberi manfa’at pada kita semua dan khususnya pada semua Mahasiswa dan Mahasiswi Sehingga dapat mengantar dan mengkader jiwa-jiwa pemuda yang bermanfa’at,berguna bagi masyarakat bangsa dan Negara. Aamiin ya Robbal “alamin.








BAB I PENDAHULUAN            
1.1     Latar Belakang Masalah
Ijma’ merupakan kebulatan fuqaha mujtahidin pada sesuatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa rasulullah SAW dan merupakan sumber yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum Islam dan menduduki tingkatan ke tiga dalam uruan sumber hukum Islam dan yang keempat Qiyas dan yang kelima ijtihad. Ijma’ sebagai sumber hukum di tujukan oleh beberapa ayat Qur;an dan Hadits Nabi yang mengatakan bahwa kebulatan ahli ilmu dan fikiran menjadi pegangan, dan menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang pemisahan diri.
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai materi ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau menerima gagasan relatifitas atau meluasnya ketidaksepakatan dalam dirinya

1.2     Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang diatas, maka perlu adanya tindakan yaitu study mengenai analisis lebih mendalam :
1)            Apa yang dimaksud dengan Ijma’ ?
2)            Apa sandaran dari Ijma’ ?
3)            Apa macam-macam dari Ijma’ ?
4)            Bagaimana kedudukan dan kehujjahan Ijma’ ?

1.3     Tujuan
Tujuan dari pembuatan Makalah ini adalah :
1)            Untuk mengetahui dan memahami tentang pengertian Ijma’.
2)            Untuk mengetahui sandaran dari Ijma’.
3)            Untuk mengetahui macam-macam dari Ijma’.
4)            Untuk mengetahui kedudukan dan kehujjahan Ijma’.

BAB II PEMBAHASAN
A.    DEFINISI IJMA’
Ijma adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif  setingkat dibawah dalil-dalil  nash (Al-Qur’an dan Hadits). Imam Syafi’i membagi hukum yang bersumber dari dalil-dalil syara’ menjadi dua  yaitu :
·         Hukum zhahir dan batin, yaitu : yaitu Hukum-hukum syara’ yang bersumber dari nash yang mutawatir, baik Al-Qur’an  maupun hadits mutawatir. Oleh karena itu, beliau memberikan komentar terhadap hukum syara’ yang bersumber  dari Al-Qur’an  dan hadits yang mtawatir sebagai berikut : “ Kami telah mantapkan hukumnya dengan benar, baik bentuk zhahir mauupun batinnya.
·         Hukum zhahir yaitu:  Hukum-hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan dalil hadits ahad,ijma’ atau qiyas, yang semua  itu tidak disepakati oleh para ulama. Dalam mengomentari hukum-hukum ini Syafi’i berkata : “Kami telah menetapkan hukumnya dengan benar menurut zhahirnya, karena mungkin orang yang meriwayatkan hadits menjadi kesalahan.[1]
1.      IJMA' MENURUT BAHASA
Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajma’a yujmi’u Ijma'an dengan isim maf’ul mujma yang memiliki dua makna.

Pertama. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat [2]. Oleh karena itu, jika dikatakan "ajma’a fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya.
2.      IJMA' MENURUT ISTILAH
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma'. Namun definisi Ijma' yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama.

Penjelasan Definisi Ini Sebagai Berikut :
Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata "para ulama ahli ijtihad" dalam definisi ini memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma'. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap ijma.

B.Status Kehujjahan ijma’
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) berdasarkan dua dalil berikut :
1.      Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad SAW tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimimn baik, maka menurut Allah SWT juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Imam Syafi’i meriwayatkan sebuah atsar, bahwa khalifah Umar ra. Suatu hari memberikan khotbah di syam, kemudian beliau berkata sebagai berikut :
(Suatu ketika) Rasulullah SAW berdiri dihadapan kita (para sahabat) sebagaimana saya berdiri dihadapan kalian. Kemudian generasi sesudahnya (tabi’in). Kemudian generasi sesudahnya lagi (tabi’it tabi’in). Setelah generasi itu, maka muncullah kebohongan, sehingga ada orang yang beraksi,padahal ia tidak diminta untuk menjadi saksi. Ingatllah barang siapa yang ingin masuk surga, maka ikutilah para jama’ah. Karena syaitan itu bersama orang yang menyendiri, dan dia akan lebih jauhkepada dua orang (dibanding hanya seorang). Jika ada dua sejoli bersepi-sepi, maka syaitanlah teman yang ketiga.Barang siapa yang bergembira atas kebaikannya, an bersedih atas kejelekan perbuatannya, maka ia adalah orang mikmin sejati”.
2.      Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’



“ Dan barang siapa menentng Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatannyayang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia kedalam jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa : 115)
            Nash diatas menjelaskan,bahwa mengikuti jalan yang bukan jalannya orang mukmin adalah haram. Karena orang yang melakukan hal tersebut berarti menentang Allah SWT  dan Rosul-Nya, dan diancam neraka Jahannam.Jika mengukuti jalan yang bbukan orang mukmin adalh haram berarti mengikuti  jalan orang-orang mumin adalah wajib.
            Dalam kontek ini, Imam Syafi’i mengemukakan dalil, bahwa kesepakatan (Ijma’) pra mujtahid terhadap suatu hukum yang bersandar pada nash-nash Al-Qur’an dan hadits. Tentu tidak mungkin Hadits tersebut tidak diketahui oleh semua mujtahid. Dlam hal ini Imam Syafi’i berkata : “Kami yakin bahw ahadits Rosulullah SAW tidak mungkin tidak diketahui oleh semua mujtahid. Meskipun mungkin juga tidak diketahui oleh sebagian oleh sebagian mujtahid. Dan kami yakin bahwa para mujtahid tidak mungkin bersepakat pada suatu hukum yang berbeda dengan hadits Rosulullah SAW, atau bersepakat dalam sesalahan”.[3]
            Apabila ijma’ itu diketahui,maka ijma’ itu adalah hujjah yang qath’i, dan hal itu menunjukan bahwa masalah yang diijtihadkan hukumnya menjadi pasti,tidak patut memperselisihkannya,tidak pula terpengaruh oleh dalil-dalil zhanni yang menjadi penentangnya.[4] Jadi pada dasarnya hukum yang disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya.Ijma’ atas suatau hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula,karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar.Bila hasil ijtihadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada.Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewai bahas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalil yang telah ditetapkan oleh syara’ seperti istihsan dan istishhab.Sebagaimana ijma’ dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa, ia juga dapat digunakan memberikan ta’wil atau tafsir suatu nash, alasan hukum nash atau penjelasan hal-hal yang berkenaan dengan nash.

 C. SYARAT-SYARAT IJMA' :
Ijma' memiliki syarat-syarat, diantaranya :
1. Tetap melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya
dikalangan 'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan
luas pengetahuannya.
2. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului
oleh hal itu maka bukanlah ijma' karena perkataan tidak batal dengan
kematian yang mengucapkannya.
Maka ijma' tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan
tetapi ijma' bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan pendapat yang
rojih karena kuatnya pendalilannya. Dan dikatakan : tidak disyaratkan yang
demikian, maka bisa ditetapkan atas salah satu pendapat yang ada
sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian ia menjadi hujjah bagi ummat
yang setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan berlalunya
zaman orang-orang yang bersepakat, maka ijma' ditetapkan dari ahlinya
(mujtahidin) hanya dengan kesepakatan mereka (pada saat itu juga, pent)
dan tidak boleh bagi mereka atau yang selain mereka menyelisihinya setelah
itu, karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma' adalah hujjah, tidak
ada padanya pensyaratan berlalunya zaman terjadinya ijma' tersebut. Karena
ijma' dihasilkan pada saat terjadinya kesepakatan mereka, maka apa yang
bisa membatalkannya?
Dan jika sebagian mujtahid mengatakan sesuatu perkataan atau
mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu masyhur di kalangan ahlul Ijtihad
dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka untuk
mengingkari hal tersebut, maka dikatakan : hal tersebut menjadi ij ma', dan
dikatakan : hal tersebut menjadi hujjah bukan ijma', dan dikatakan : bukan
ijma' dan bukan pula hujjah, dan dikatakan : jika masanya telah berlalu
sebelum adanya pengingkaran maka hal itu merupakan ijma', karena diam
mereka (mujtahidin) secara terus-menerus sampai berlalunya masa padahal
mereka memiliki kemampuan untuk mengingkari merupakan dalil atas
kesepakatan mereka, dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada
kebenaran.[5]

D. Sandaran ijma
Ijma tidaqk dipandang sah kecuali mempunyai sandaran ijma yang kuat yaitu baik dalil qot’i
Seperti qur’an dan hadis mutawattir , maupun yang dzonni seperti hadis ahad dan qiyam. Karena ijma bukan dalilyang berdiri sendiri. 




  E.Kemungkinan terjadinya ijma’
Ada dua hal yang harus ada dalam penentuan ijma :
a.       Penyelidikan terhadap kredibilitas mujtahid
b.      Hendaknya didengarkan semua pendapat yang terlontar dan pendapat- pendapat mereka ada kesesuaian . hal ini tidak akan terwujud kecuali ia sudah diriwayatkan oleh sejumlah orang yang riwayatnya diketahui,yaitu jumlah yang bisa menimbulkan ilmu. Memastikan kredibilitas seorag mujtahid adalah dengan cara yang berbeda menurut perbedaan zaman[6]
      C.1 Kemungkinan terjadinya ijma pada masa lalu
          Karena di zaman sahabat pada masa khulafaurasyidin belum banyak terjadi perbedaan         pendapat dan belum banyak fuqoha dan sega;la sesuatunya selalu diadakan musyawarah maka pada zaman sahabat ini telah terjadi ijma seperti : tentang haramnya lemak babi,seperenam bagi beberapa nenek pewaris cucu saudara lainnya.
     C.2 Kemungkinan terjadinya ijma pada masa sekarang
        Ijma pada masa sekarang sulit untuk dilaksanakan terutama karena terbentur  masalah persyaratan ujtahid sebagai rukun utama ijma, disamping bergantung kepada suatu negara.     


F. Macam- macam ijma
Ditinjau dari cara penetapannya , ijma terbagi atas dua yaitu :
1.      Ijma sharih : Ijma yang sesungguhya , dalam pandangan jumhur ulama ia adalah suatu hujjah hukum syara’  
2.      Ijma sukuti : ijma yang seakan- akan karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma
Selain ijma tersebut diatas ada macam- macam ijma yang lain yaitu :
1.      Ijma shahabi ; ijma di zaman Abu bakar , Umar, dan Utsman, dan Ali Radiyallahu anhum . ijma semacam ini bisa dijadikan hujjah. Nabi Saw memerintahkan mengikutinya dengan sabdanya dalam hadits riwayat Daud [7]


Artinya : Hendaklah kamu berpegang pada cara- caraku dan cara- cara Khulafau rasyidin
   
2.      Zaman setelah khulafau rasyidin yaitu tatkala islam telah meluas , dan para fuqaha banyak yang pindah ke negeri islam yang baru, ditambah fuqaha tabi’in yang tidak sedukit jumlahnya , di tambah lagi dengan pertentangan politik ,maka di zaman ini sukar dibayangkan adanya ijma

G. Hukum bagi orang-orang yang mengingkari ijma
Ada dua macam pendapat ulama terkait hal ini yaitu :
a.       Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari ijma yang qot’I adalah kufur, seperti ingkar terhadap ijma ulama terhadap kewajiban shalat, haramnya zina dan mencuri.
b.      Sebagian lagi berpendapat kehujjahan ijma itu adalah dzonny, tidak qot’I maka orang yang ingkar terhadapijma adalah tidak kufur, misalnya mengingkari tentang : akan turunnya Nabi Isadi akhir zaman, mengingkari isro’mi’raj dsb.


BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’).
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.




B.     Saran Dan Kritikan
Semoga makalah ini dapat menjadi media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqh, (Pustaka Amani, Jakarta : 2007)
Asep Nur syamsi Diktat ushul fiqih, 
Muhammad shalih al- utsaimin,prinsip ilmu ushul fiqih ,2007
al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta : Cet ke 13 2010),




[1] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta : Cet ke 13 2010), Hal 307
[2] al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan (hlm. 154)
[3] Ibid 1 hal 315
[4] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqh, (Pustaka Amani, Jakarta : 2007) hal 633



[5]Muhammad shalih al- utsaimin,prinsip ilmu ushul fiqih ,2007 hlm 100

[6] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqh, (Pustaka Amani, Jakarta : 2007) hal 633

[7] Asep Nur syamsi Diktat ushul fiqih, hlm 54 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar