Kamis, 06 Maret 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang sempurna di muka bumi ini, semua sisi kehidupan manusia dan makhluk Allah telah digariskan oleh Islam melalui Kalam Allah swt ( Al Qur’an ) dan Al Hadits. Al Qur’an sudah jelas di tanggung keasliannya oleh Allah swt sampai akhir nanti, bagaimana dengan Al Hadits.
Hadits merupakan salah satu sumber Islam yang utama, tetapi tidak sedikit umat Islam yang belum memahami apa itu hadits. Sehingga dikhawatirkan suatu saat nanti akan terjadi kerancuan dalam hadits, karena tidak mengertinya dan mungkin karena kepentingan sebagian kelompok untuk membenarkan pendapat kelompok tersebut. Sehingga mereka menganggap yang memakai bahasa arab dikatakan al hadits oleh orang yang tidak bertanggung jawab itu mereka anggap hadits.
Hadits atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. Dan peran hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh masyarakat mahdzab tidak dapat dinafikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Hadis, sunnah, khobar dan Atsar?
2. Pembagian hadits?
3. Urgenisasi as sunnah terhadap al-quran?
4. Apa itu asbabul wurud?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Hadis, Sunnah, Khobar dan Atsar
2. Untuk mengetahui ruanglingkup hadits
3. Untuk mengetahui urgenisasi as sunnah
4. Untuk mengetahui asbabul wurud






BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
1. Definisi Hadits
Kata hadis berasal dari bahasa arab,) al Hadits, hudatsa jamaknya ahadis, hidtsan dan hudtsan. Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Menurut istilah ahli ushul; pengertian hadis ada lah :
كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
“Hadis yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara”
Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :
كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب
“yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah–masalah fardhu atau wajib”
Para ahli ushul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an atau mungkin hanya penjelasannya saja.Sedangkan menurut ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat–sifat maupun hal ikhwal Nabi.
Menurut jumhur muhadisin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”
Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah beliau. Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi saw baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih luas.
Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan danhimmahnya

2. Definisi sunah
Kata “سنة” berasal dari kata سن secara bahasa berarti: cara yang biasa dilakukan, baik cara itu baik maupun buruk
Kata sunah juga tercantum dalam sabda nabi:
من سن سنة حسنة فله ا جرها واجر من عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرهاووزر من عمل بها الي يوم القيامة
Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baiknya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Sedangkan menurut istilah adalah ucapan,perbuatan serta ketepatan-ketepatan nabi SAW. Atau Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perkjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya ”
Dalam Al-quran terdapat kata”sunnah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti”kebiasaan yang berlaku” dan jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali imran 3: 133

137. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
3. Definisi Khabar
Menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita-berita), sedang jama’nya adalah Akhbar
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits .
Menurut istilah ada tiga pendapat yaitu:

1. Merupakan sinonim bagi hadits, yakni keduanya berarti satu.
2. Berbeda dengan hadits, di mana hadits adalah segala sesuatu yang datang dan Nabi SAW. sedang khabar adalah suatu yang datang dari selain Nabi SAW.
3. Lebih umum dari hadits, yakni bahwa hadits itu hanya yang datang dari Nabi saja, sedang khabar itu segala yang datang baik dari Nabi SAW. maupun yang lainnya.

4. Definisi Atsar
Atsar menurut lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan) . Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Menurut istilah Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam .
Jadi, atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh Atsar
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”

B.PEMBAGIAN SUNNAH ATAU HADITS DARI SEGI PERAWINYA
Dilihat dari segi priwayatannya ,hadits di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Hadits muttashil as sanad yang terbagi menjadi 3 macam yakni Hadits mutawatir,Hadits Masyhur, Hadits ahad.
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin berbohong.
Contoh haditsnya ialah
من كذب علي متعمدفليتبوا مفعده من النار
Hadits Masyhur ialah: (hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 perawi tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya) .
Hadits Ahad menurut Imam syafi’i islsh setiap hadits yang diriwaatkan dari Rasululah SAW oleh seorang ,dua orang atau sedikit lebih banyak,dan belum mencapai syarat hadits mansyurـ
اذاولغ الكلب في اناء احدكم فليغسله سبا احدا هن بالتراب
“apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka basuhlah sebanyak tujuh kali. Salah satun diantaranyadicampur dengan debu yang suci
2. Hadits ghoiru muttashil as sanad ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung kepada nabi SAW. Sebagian ulama mengartikan adalah hadits dimana seorang perawi yang tiak menyebutkan namaa sahabat yng meriayatkanya.Pembagian As sunnah dari segi sifat perawi, sanad, dan matannya
a. Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berillat, dan tidak janggal.
Contoh hadis
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
b. Hadits Hasan, yaitu hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, tak ada kejanggalan pada matanya, dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث "

“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
c. Hadits Dlaif, yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan. Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "

Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
C. KEDUDUKAN SUNNAH TERHADAP AJARAN SLAM
Sunnah adalah sumber hukum yang kedua dari sumber-sumber hukum yang agama,dan kedudukanya berada setelah Al-qur’an,da waji diikutisebagaimana wajibnya mengikuti Al-qur’an.Isi as sunnah yang menunjukan hukum dalam agama
1. Al-qur’an memuat banyak ayat yang menunjukan adanya perintah Allah untuk mengikuti dan menaat dan Rasul-NYA. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Hasyr Ayat 7
•••
7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

2. allah telah memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi perkataan beliau SAW (QS An-Nur:63)
63. janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

3. Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan salah satu dari dasr-dasar keimanan.(QS. An-Nisa':65)

65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
4. Perbuatan para sahabat ra menunjukkan bahwa mereka mentaati semua perintah Rasulullah saw dan mereka tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan dalam Al-Qur'an dan hukum yang bersumber dari Rasulullah saw

D. FUNGSI AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR'AN
1. Untuk menguatkan apa yang ada pada Al-Qur'an
2.Sebagai penjelasan dan perinci. Mencakup tiga hal: merinci, mengkhususkan, dan
membatasi. Contoh Nabi saw menjelaskan perihal shalat secara rinci terkait gerakan danbacaan dalam shalat, yang hal ini tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an diterangkanbahwa setiap kerabat memilki hak waris, As-Sunnah kemudian mengkhususkan bahwa tidaksemua anak/istri/orang tua dapat waris, ada yang tidak misal: anak yang membunuh orangtuaatau istri bunuh suami tidak mendapat warisan dari orangtua atau suami yang dibunuh ituKetika orang meninggal Al-Qur'an mengharuskan meninggalkan wasiat yang baik, ini masih
mutlak tidak terbatas, kemudian Rasulullah saw membatasi bahwa berwasiat tidak boleh lebihdari sepertiga harta milik.
3,Membawa hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Contoh dalam masalah pernikahan Al-Qur'an mengharamkan menikah
dua bersaudara dalam pernikahan dalam satu waktu. Rasulullah saw
menambahkan bahwa dilarang menikahi keponakan dan bibi dalam
pernikahan dalam satu waktu.




F. PEREDAAN HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI
Hadits Qudsi“Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds
Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan:
Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan:
Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.`
Contoh hadits qudsi antara lain:
Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan dari Allah azza wajalla: Tangan Allah penuh, tidak dikurangi lantaran memberi nafkah, baik di waktu siang maupun malam.
Contoh yang lainnya:
Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata: ` Allah ta`ala berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di dalam kalangan orang banyak lebih dari itu
Contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ‎ra.‎
روى أبو هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول الله تعالى أنا ‏عند ظن عبدي بي وأنا معه حين يذكرني فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني ‏في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم (أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما)‏.
Hadits Nabawi
Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW:
Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya.
Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan:
Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.
Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata:
Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliaumenyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliaudalam sebuah riwayattelah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.
Contoh hadis yang berupa perbuatan (fi'li) ialah‏:‏
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ‏عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ ‏لِلصَّلاَةِ (أخرجه البخاري)‏
Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua pertanyaan menggelitik:
Pertama, bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafaznya dari Rasulullah SAW, tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadits qudsi?
Jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW: “Allah Ta`ala telah berfirman…, atau Allah Ta`ala berfirman….” Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini.
Di samping itu bisa jadi isinya diberitahukan (kepada Nabi) melalui wahyu (yakni secara tauqifi), namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi), dan oleh sebab itu kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis qudsi.
Pertanyaan kedua, bila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi?
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafadznya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan `si penyair berkata demikian`. juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian`.
Begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka.
`Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa: `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya, jika kamu sekalian mempercayai-Nya`. (Asy-Syuara`: 10-24)

G. PENGERTIAN SUNNAH RIWAYAT BILLAFZI DAN RIWAYAT BIL MA’NA
A. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya. Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut
Contoh hadis riwayah bil-lafzhi
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من ا لنار
B.HADITS RIWAYAH BIL-MA’NA
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat. tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagiMenukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap. Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut
فعن عو ف بن ما لك ر ضي ا لله عنه قا ل قا ل ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم : "ا فتر قت ا ليهو د على احد ى و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في النار" قيل:يارسوالله,من هم؟قال:"الجماعة"[17] (رواه ابن ماجه)

I. Pengertian Asbabul Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا يته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadis.Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك.
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut :
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwaasbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah)untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.[8]
C. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)
1. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat”sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
1. 3. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[9]
As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38). Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang sempurna di muka bumi ini, semua sisi kehidupan manusia dan makhluk Allah telah digariskan oleh Islam melalui Kalam Allah swt ( Al Qur’an ) dan Al Hadits. Al Qur’an sudah jelas di tanggung keasliannya oleh Allah swt sampai akhir nanti, bagaimana dengan Al Hadits.
Hadits merupakan salah satu sumber Islam yang utama, tetapi tidak sedikit umat Islam yang belum memahami apa itu hadits. Sehingga dikhawatirkan suatu saat nanti akan terjadi kerancuan dalam hadits, karena tidak mengertinya dan mungkin karena kepentingan sebagian kelompok untuk membenarkan pendapat kelompok tersebut. Sehingga mereka menganggap yang memakai bahasa arab dikatakan al hadits oleh orang yang tidak bertanggung jawab itu mereka anggap hadits.
Hadits atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. Dan peran hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh masyarakat mahdzab tidak dapat dinafikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Hadis, sunnah, khobar dan Atsar?
2. Pembagian hadits?
3. Urgenisasi as sunnah terhadap al-quran?
4. Apa itu asbabul wurud?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Hadis, Sunnah, Khobar dan Atsar
2. Untuk mengetahui ruanglingkup hadits
3. Untuk mengetahui urgenisasi as sunnah
4. Untuk mengetahui asbabul wurud






BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
1. Definisi Hadits
Kata hadis berasal dari bahasa arab,) al Hadits, hudatsa jamaknya ahadis, hidtsan dan hudtsan. Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Menurut istilah ahli ushul; pengertian hadis ada lah :
كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
“Hadis yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara”
Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :
كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب
“yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah–masalah fardhu atau wajib”
Para ahli ushul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an atau mungkin hanya penjelasannya saja.Sedangkan menurut ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat–sifat maupun hal ikhwal Nabi.
Menurut jumhur muhadisin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”
Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah beliau. Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi saw baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih luas.
Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan danhimmahnya

2. Definisi sunah
Kata “سنة” berasal dari kata سن secara bahasa berarti: cara yang biasa dilakukan, baik cara itu baik maupun buruk
Kata sunah juga tercantum dalam sabda nabi:
من سن سنة حسنة فله ا جرها واجر من عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرهاووزر من عمل بها الي يوم القيامة
Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baiknya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Sedangkan menurut istilah adalah ucapan,perbuatan serta ketepatan-ketepatan nabi SAW. Atau Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perkjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya ”
Dalam Al-quran terdapat kata”sunnah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti”kebiasaan yang berlaku” dan jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali imran 3: 133

137. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
3. Definisi Khabar
Menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita-berita), sedang jama’nya adalah Akhbar
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits .
Menurut istilah ada tiga pendapat yaitu:

1. Merupakan sinonim bagi hadits, yakni keduanya berarti satu.
2. Berbeda dengan hadits, di mana hadits adalah segala sesuatu yang datang dan Nabi SAW. sedang khabar adalah suatu yang datang dari selain Nabi SAW.
3. Lebih umum dari hadits, yakni bahwa hadits itu hanya yang datang dari Nabi saja, sedang khabar itu segala yang datang baik dari Nabi SAW. maupun yang lainnya.

4. Definisi Atsar
Atsar menurut lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan) . Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Menurut istilah Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam .
Jadi, atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh Atsar
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”

B.PEMBAGIAN SUNNAH ATAU HADITS DARI SEGI PERAWINYA
Dilihat dari segi priwayatannya ,hadits di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Hadits muttashil as sanad yang terbagi menjadi 3 macam yakni Hadits mutawatir,Hadits Masyhur, Hadits ahad.
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin berbohong.
Contoh haditsnya ialah
من كذب علي متعمدفليتبوا مفعده من النار
Hadits Masyhur ialah: (hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 perawi tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya) .
Hadits Ahad menurut Imam syafi’i islsh setiap hadits yang diriwaatkan dari Rasululah SAW oleh seorang ,dua orang atau sedikit lebih banyak,dan belum mencapai syarat hadits mansyurـ
اذاولغ الكلب في اناء احدكم فليغسله سبا احدا هن بالتراب
“apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka basuhlah sebanyak tujuh kali. Salah satun diantaranyadicampur dengan debu yang suci
2. Hadits ghoiru muttashil as sanad ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung kepada nabi SAW. Sebagian ulama mengartikan adalah hadits dimana seorang perawi yang tiak menyebutkan namaa sahabat yng meriayatkanya.Pembagian As sunnah dari segi sifat perawi, sanad, dan matannya
a. Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berillat, dan tidak janggal.
Contoh hadis
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
b. Hadits Hasan, yaitu hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, tak ada kejanggalan pada matanya, dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث "

“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
c. Hadits Dlaif, yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan. Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "

Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
C. KEDUDUKAN SUNNAH TERHADAP AJARAN SLAM
Sunnah adalah sumber hukum yang kedua dari sumber-sumber hukum yang agama,dan kedudukanya berada setelah Al-qur’an,da waji diikutisebagaimana wajibnya mengikuti Al-qur’an.Isi as sunnah yang menunjukan hukum dalam agama
1. Al-qur’an memuat banyak ayat yang menunjukan adanya perintah Allah untuk mengikuti dan menaat dan Rasul-NYA. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Hasyr Ayat 7
•••
7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

2. allah telah memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi perkataan beliau SAW (QS An-Nur:63)
63. janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

3. Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan salah satu dari dasr-dasar keimanan.(QS. An-Nisa':65)

65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
4. Perbuatan para sahabat ra menunjukkan bahwa mereka mentaati semua perintah Rasulullah saw dan mereka tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan dalam Al-Qur'an dan hukum yang bersumber dari Rasulullah saw

D. FUNGSI AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR'AN
1. Untuk menguatkan apa yang ada pada Al-Qur'an
2.Sebagai penjelasan dan perinci. Mencakup tiga hal: merinci, mengkhususkan, dan
membatasi. Contoh Nabi saw menjelaskan perihal shalat secara rinci terkait gerakan danbacaan dalam shalat, yang hal ini tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an diterangkanbahwa setiap kerabat memilki hak waris, As-Sunnah kemudian mengkhususkan bahwa tidaksemua anak/istri/orang tua dapat waris, ada yang tidak misal: anak yang membunuh orangtuaatau istri bunuh suami tidak mendapat warisan dari orangtua atau suami yang dibunuh ituKetika orang meninggal Al-Qur'an mengharuskan meninggalkan wasiat yang baik, ini masih
mutlak tidak terbatas, kemudian Rasulullah saw membatasi bahwa berwasiat tidak boleh lebihdari sepertiga harta milik.
3,Membawa hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Contoh dalam masalah pernikahan Al-Qur'an mengharamkan menikah
dua bersaudara dalam pernikahan dalam satu waktu. Rasulullah saw
menambahkan bahwa dilarang menikahi keponakan dan bibi dalam
pernikahan dalam satu waktu.




F. PEREDAAN HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI
Hadits Qudsi“Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds
Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan:
Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan:
Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.`
Contoh hadits qudsi antara lain:
Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan dari Allah azza wajalla: Tangan Allah penuh, tidak dikurangi lantaran memberi nafkah, baik di waktu siang maupun malam.
Contoh yang lainnya:
Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata: ` Allah ta`ala berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di dalam kalangan orang banyak lebih dari itu
Contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ‎ra.‎
روى أبو هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول الله تعالى أنا ‏عند ظن عبدي بي وأنا معه حين يذكرني فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني ‏في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم (أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما)‏.
Hadits Nabawi
Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW:
Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya.
Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan:
Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.
Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata:
Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliaumenyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliaudalam sebuah riwayattelah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.
Contoh hadis yang berupa perbuatan (fi'li) ialah‏:‏
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ‏عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ ‏لِلصَّلاَةِ (أخرجه البخاري)‏
Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua pertanyaan menggelitik:
Pertama, bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafaznya dari Rasulullah SAW, tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadits qudsi?
Jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW: “Allah Ta`ala telah berfirman…, atau Allah Ta`ala berfirman….” Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini.
Di samping itu bisa jadi isinya diberitahukan (kepada Nabi) melalui wahyu (yakni secara tauqifi), namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi), dan oleh sebab itu kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis qudsi.
Pertanyaan kedua, bila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi?
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafadznya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan `si penyair berkata demikian`. juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian`.
Begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka.
`Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa: `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya, jika kamu sekalian mempercayai-Nya`. (Asy-Syuara`: 10-24)

G. PENGERTIAN SUNNAH RIWAYAT BILLAFZI DAN RIWAYAT BIL MA’NA
A. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya. Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut
Contoh hadis riwayah bil-lafzhi
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من ا لنار
B.HADITS RIWAYAH BIL-MA’NA
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat. tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagiMenukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap. Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut
فعن عو ف بن ما لك ر ضي ا لله عنه قا ل قا ل ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم : "ا فتر قت ا ليهو د على احد ى و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في النار" قيل:يارسوالله,من هم؟قال:"الجماعة"[17] (رواه ابن ماجه)

I. Pengertian Asbabul Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا يته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadis.Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك.
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut :
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwaasbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah)untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.[8]
C. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)
1. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat”sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
1. 3. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[9]
As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38). Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama





Tidak ada komentar:

Posting Komentar